Wonder Club world wonders pyramid logo
×

Reviews for Ideals and Realities: Selected Essays of Abdus Salam

 Ideals and Realities magazine reviews

The average rating for Ideals and Realities: Selected Essays of Abdus Salam based on 2 reviews is 4.5 stars.has a rating of 4.5 stars

Review # 1 was written on 2009-08-04 00:00:00
1983was given a rating of 4 stars Liz Tracy
Thou seest not, in the creation of the All-merciful any imperfection, Return thy gaze, seest thou any fissure. Then Return thy gaze, again and again. Thy gaze, Comes back to thee dazzled, aweary.This, in effect, is the faith of all physicists; the deeper we seek, the more is our wonder excited, the more is the dazzlement for our gaze Abdus Salam (1926-1996) mungkin akan menjadi ilmuwan modern muslim terkemuka sepanjang masa. Kutipan di atas, dengan mengutip kitab suci Quran (yang diberi garis bawah), diucapkannya saat pidato penganugerahan hadiah paling prestisius di Tata Surya, Nobel Prize. Tak tangung-tanggung, bidang yang didapatnya adalah bidang fisika untuk kajian fisika kuantum yang untuk mendapatkannya, perlu lebih dari sekedar jenius. Namun, Abdus Salam bukanlah pemenang Nobel biasa. setidaknya dia adalah fenomena sekaligus pahlawan bagi tiga bangsa manusia. Pertama, bagi bangsa Pakistan. Tidak terlalu mengejutkan bahwa semua negara di dunia akan memandang para pemenang Nobel yang berasal dari negaranya sebagai pahlawan. Nama negara yang ikut harum di mata internasional menegaskan bahwa negara tersebut berkonstribusi bagi peradaban modern. Pun dengan Abdus Salam. Yang mengejutkan, Pakistan (sebuah negara yang 'setara' dengan Indonesia dalam hal kemajuan ipteknya), yang dianggap sebagai negara 'terbelakang' pada era 70-an, mampu mengejutkan dunia dengan menghasilkan putra terbaiknya ke pentas hadiah sekelas Nobel Kedua, bagi bangsa-bangsa negri selatan. Pada era sebelum Salam mendapatkan hadiah Nobel (sebenanrya sih sampe sekarang juga masih berlaku, cuma gak sekuat dulu), ada stigma bahwa yang namanya peradaban modern adalah apa yang ada di belahan bumi utara sana terutama terpusat di dua bagian, Amerika (Serikat) dan Eropa (Barat). Selebihnya, bangsa-bangsa lain adalah budak yang harus menyediakan kebutuhan bagi para tuan-tuan kulit putih. Meski perang dunia II memberikan kesadaran untuk melepaskan diri dari penjajahan, tapi PD II membawa imbas lain, kapitalisme dan apharteid semakin memantapkan posisi bangsa barat pada kasta satu tingkat di atas bangsa timur (Jepang dan beberapa negara asia timur mungkin merupakan pengecualian). Alhasil, siapa yang menduga dari negara miskin seperti Pakistan bisa muncul bintang terang? Munculnya Salam sebagai pemenang Nobel apalagi fisika, mungkin bisa diibaratkan seperti menemukan berlian indah. yang biasanya ditemukan di toko-toko mahal-harum-mewah, ternyata dijual juga di toko sederhana. Kemunculan Salam telh menjadi inspirasi berbagai bangsa selatan untuk meningkatkan kemajuan sainsnya yang sebelumnya mandeg dan didominasi Barat. Ketiga, bagi bangsa muslim. Sejak kejatuhan era kekuasaan kekhalifahan, dunia sains Islam nyaris meredup (kalo gak dikatakan padam). Era keemasan Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, Ibnu Hayyan, Al-Biruni dll yang telah mencemerlangkan dunia sains. Bahkan Max I Dimont sampai berujar bahawa seandainya hadiah Nobel sudah diberikan sejak tahun 1000-an, maka pemenangnya adalah ilmuwan-ilmuwan muslim. Ajaibnya, dengan lenyapnya kekhalifahan, masa kemasan sains Islam pun tenggelam. Tema "panas" dan "ajaib" ini telah menjadi kajian hangat (dan bahan diskusi panas) bagi banyak kaum intelektual muslim terkemuka hingga saat ini (selain isu teroris tentu saja). Buku-bukunya Fazlurrahman, Asad, Sardar, Nekosteen, dll telah secara gamblang menguliti permasalahan ini dengan bahasa yang memukau. Nah, saat keterpurukan itulah nama Salam muncul ke permukaan. Meski berlatar belakang "muslim" Ahmadiyah, tapi euforia seorang Muslim yang mendapat Nobel apalagi di bidang fisika (Salam adalah "muslim" kedua yang mendapat nobel pada tahun 1979, setahun sebelumnya, 1978, Anwar Sadat memenangkan Nobel untuk Perdamaian). "Kekeringan" dalam dunia sains ini membuat "perbedaan" Salam dengan kaum muslim kebanyakan untuk sejenak terlupakan. Kesuskesan Salam dalam merebut Nobel Fisika telah menjadi inspirasi kaum muda dan ilmuwan sains muslim untuk merebut Nobel Prize. Dan sejak kemenangan Salam, satu demi satu bermunculan nama-nama pemenang Nobel yang muslim. Tercatat hingga sekarang ada 9 pemenang Nobel yang beragama Islam yakni Anwar Sadat (Perdamaian, 1978), Abdus Salam (Fisika, 1979), Naguib Mahfouz (Sastra, 1988), Yasser Arafat (Perdamaian, 1994), Ahmed Zewail (Kimia, 1999), Shirin Ebadi (Perdamaian, 2003), Mohamed El-Baradai (Perdamaian, 2005), Muhammad Yunus (Perdamaian, 2006), dan Orhan Pamuk (Sastra, 2006). Karenanya, kemenangan Salam dalam merebut Nobel bukanlah kemenangan biasa-biasa saja. Sebuah kemenangan yang telah menjadi inspirasi sekaligus simbol perlawanan terhadap dominasi Barat. Dia adalah pahlawan sekaligus inspirator. ------------------------------------------------------------------------ Di buku Ideals and Realities: Selected Essays of Abdus Salam ini kita akan mengenal lebih jauh seperti apa sosok Salam. Yang mengagumkan adalah, karena "menanggung beban tiga gelar pahlawan" tadi, Salam bahkan mampu menunaikan beban itu dengan sangat baik. Ketika membacanya kita akan tahu bahwa Salam bukanlah sekedar ilmuwab botak-gendut-kacamata botol-kuper-tidak tahu dunia luar, Salam adalah sorang pemikir jenius yang faham betul semua permasalah sains, ekonomi, politik, agama, dan kemanusiaan. Salam bukan sekedar ilmuwan, dia juga seorang cendekiawan. Buku ini terbagi menjadi 6 Bab yang menceritakan seperti apa sosok Salam. keenam bab itu adalah : 1. Salam The Man. 2. Science and the World 3.. Science and Technology in Developing Country and International Corporation 4. International Center for Theoretical Physics 5. Science in Islamic Countries 6. Perspective on Physics Bab pertama adalah kumpulan artikel dari berbagai media cetak yang dikumpulkan editor tentang biografi Salam yang ditulis penulis lain. Sepertinya para penulisnya adalah kolumnis terkenal dan berpengaruh. Tapi saya gak tau sama sekali siapa mereka :D Sisa bab-bab selanjutnya adalah kumpulan artikel-artikel Salam di berbagai media yang menunjukan bahwa Salam adalah seorang pemikir cerdas di bidang selain Fisika. Secara memikat, dia bertutur tentang berbagai permasalahan yang mendera negara-negara berkembang dan negara-negara Islam sehingga mengapa kemajuan iptek mereka menjadi mandek. Meski artikel-artikel ini merupakan kumpulan tulisan lama, namun, esensi ide-ide Salam masih relevan dan aplikatif hingga sekarang. Secara umum, bagian yang paling menarik (bagi saya) adalah bab ke 6, dimana secara memukau dan runut Salam menjelaskan bahwa perkembangan dewasa fisika dalam upayanya dalam menelaah fenomna alam tak sekdar hitungan dan kumpulan rumus belaka. Perkembangan sains dewasa ini (terutama fisika) seperti mempertaruhkan eksistensi Tuhan. Ajaibnya lagi, saat menelaah kajian fisika, saat ilmuwan-ilmuwan lain malah terbentur pada faham materialisme yang ujung-ujungnya menjadikan mereka sebagai pribadi yang ateis atau agnostik, Salam malah semakin menjadi pribadi yang saliih/agamis. Bahkan sebagaimana yang dikutip dari pidato penerimaan hadiah Nobelnya, penelusurannya dalam bidang fisika semakin membuatnya percaya akan Tuhan. Di awal bab 6 di jelaskan bahwa Einstein's Last Dream bukanlah sekedar impian Eisntein, tetapi juga mimpi seluruh umat manusia. Namun jelas, jika bagi sekaliber Einstein saja hal itu masih merupakan mimpi, maka bagi orang "kebanyakan", perlu usaha keras yang hingga detik ini masih terus berlangsung. Begitu kaya dan berharganya pemikiran Salam sehingga dia begitu dipuja banyak orang. Sebagai seorang ahmadiyah, saat parlemen Pakistan memutuskan ahmadiyah sebagai aliran sesat dan terlarang, dia mengungsi ke Oxford sebagai bentuk protes. Namun, usaha-usahanya untuk mengembangkan sains negara berkembang tak pernah surut. Usaha kerasnya membuahkan hasil saat dunia mngakui keberadaan International Centre for Theoretical Physics (ICTP), di Trieste, Italia (Sejak 1993 namanya diganti menjadi Abdus Salam International Centre for Theoretical Physics) yang didekasikan bagi ilmuwan (fisikawan) yang berasal dari negara-negara berkembang. Begitu besarnya dedikasi Salam, sehingga kaum muslim pun tidak melihat Salam sebagai seorang ahmadi. Tak heran, saat kematiannya, 13000 orang di Pakistan turun ke jalan untuk menyatakan kedukaannya. Begitu kompleks dan besarnya jasa Salam sehingga sukar untuk menampilkan sosok Salam secara utuh. Buku ini berusaha merintisnya. Meski demikian, untuk menampilkan sosok seorang Salam, sepertinya, ungkapannya yang paling terkenal dapat menggambarkan bagaimana seorang Salam, Scientific thought and its creation is the common heritage of mankind. PS : Einstein's Last Dream adalah "mimpi" Einstein yang berusaha memadukan semua teori fisika dalam kesatuan tungal yang disebut Teori Medan Terpadu (Unified Field Theory) dimana semua gaya-gaya yang bekerja di alam (ada 4, yaitu gravitasi, elektomagnetik, gaya nuklir kuat [berkaitan dengan gaya yang menjaga agar partikel2 penyusun atom tidak berpencar, sebagai gambaran, inti atom tersusun dari proton atau muatan positif, padahal seharusnya yang memiliki mauatn sama harus saling tolak-menolak, artinya atom akan tercerai-burai. tp kenyataanya tidak demikian kan?:], gaya nuklir lemah [berkaitan dengan gejala radiasi radiokatif:]) kedalam satu kesatuan teori tunggal. Namun, ajaibnya, untuk mencapai teori tunggal tersebut, ternyata tidak semudah dugaan. Einstein bisa dikatakan gagal menyatukannya. sebelum dia melihat mimpinya, dia keburu meninggal. Salah satu penyebab utama kegagalan tsb adalah ketika satu teori diterapkan pada satu gaya, teori tersebut menjadi tidak konsisten secara matematis saat diterapkan pada gaya lain. Salam bersama Sheldon Glashow dan Steven Weinberg berhasil merintis mimpi Einstein tersebut dengan berhasil "mengawinkan" gaya elektromagnetik dan gaya nuklir lemah (disingkat electroweak). Tahun 1974, Sheldon Glashow dan Howard Georgi mengajukan gagasan untuk memadukan gaya nuklir kuat dan electroweak dalam teori yang namanya keren, Grand Unified Theory (GUT/ Teori Unifikasi Agung/ Teori Kesatuan Akbar), tapi, teori GUT masih memiliki banyak kelemahan. Namun, masalah belum selesai, saat GUT dicoba dikawinkan dengan gaya gravitasi, mimpi buruk itu tiba. Tidak ada satupun dari teori-teori itu mempan. Penggabungan GUT dengan gravitasi adalah seperti kuburan bagi teori-teori fisika. Secara umum, kemajuannya baru sekedar mencapai GUT. itu pun dengan banyak catatan. Itu yang namanya teori Model Standar yang diterima umum. di luar itu banyak teori-teori sempalan yang berusaha mengawinkan keempat gaya itu. yang paling terkenal adalah teori Dawai atau String Theory, namun, sebagus apapun teori ini, tak satupun bukti perhitungan teori ini dapat dibuktikan dengan percobaan atau pengamatan, sehingga banyak orang menolaknya. ada juga teori-teori lain yang namanya semakin ngeri seperti Perturbative heterotic string models, 11-dimensional M-theory, Singular geometries (orbifold dan orientifold), D-branes, Flux compactification dan warped geometry, Non-perturbative type IIB superstring solutions (F-theory). Namun, semuanya baru sekedar teori yang tidak memiliki bukti sehingga teori-teori tsb dinamakan psudoscience UFTmemilki saudara kandung, yaitu Theory of Everything (TOE), namun ada perbedaan meski kajiannnya sama. TOE cangkupannya lebih luas karena mencoba menerangkan semua kontanta fisik seperti kecepatan cahaya (c), dll
Review # 2 was written on 2015-09-09 00:00:00
1983was given a rating of 5 stars David Rottger
I thought this was fascinating! J. Robert Oppenheimer had a unique upbringing I found very interesting. He grew up in a nonobservant Jewish family and completed grade school in a private institution called The Ethical Cultural Society. This was a Judaic reformist school where "students were taught 'Ethical Imagination,' to 'see things not as they are, but as they might be.'", pg. 19 Oppenheimer described his childhood "My life as a child did not prepare me for the fact that the world is full of cruel and bitter things.", pg. 21. He was described as odd, neurotic, and depressed by his university classmates. He eventually had a breakdown where he attacked a classmate (pg. 47). His poor social interactions and self-alienating behaviors led him tell a friend "I need physics more than friends", pg. 91 He was brilliant, extremely intelligent, and internalized the knowledge he acquired. He eventually read the Bhagavad Gita and the Upanishads in the original Sanskrit (pgs. 99-102). His deep reflection and internalizing of the Gita would have a heavy impact during his work on the atomic bomb. "He liked things that were difficult. And since almost everything was easy for him, the things that would attract his attention were essentially the difficult. He had a taste for the mystical and the cryptic.", pg. 99 Oppenheimer's credentials and reputation proceeded himself and landed him the job at the Los Alamos Research Laboratory in New Mexico. "In May 1942 he was appointed director of the fast-neutron research with the curious title 'Coordinator of Rapid Rapture.' Almost immediately, he began to organize a highly secret summer seminar of top theoretical physicists whose job it was to outline a bare-bones design of an atomic bomb.", pg. 180 At the successful detonation of the atomic bomb at the Trinity Site he later told an interviewer "I remembered the line from the Hindu scripture, the Bhagavad Gita; Vishnu is trying to persuade the prince that he should do his duty, and to impress him, takes his multi-armed form and says 'Now I am become death, the destroyer of worlds.'" pg. 309 Eventually his past actions and who he socialized with put him in the cross-hairs of the Department of Justice and the FBI. His loyalty was questioned after he had accusations of being a Communist sympathizer, being unpatriotic, and was deemed a risk to national security. Towards the end of his life, he gave lectures at universities and dwelt on broader themes of culture and science. He became a humanist, pondering man's survival in an age of weapons of mass destruction, pg. 574 I really enjoyed this one. It was highly detailed and contained a lot of thoroughly researched information. I would recommend it! Thanks!


Click here to write your own review.


Login

  |  

Complaints

  |  

Blog

  |  

Games

  |  

Digital Media

  |  

Souls

  |  

Obituary

  |  

Contact Us

  |  

FAQ

CAN'T FIND WHAT YOU'RE LOOKING FOR? CLICK HERE!!!