Wonder Club world wonders pyramid logo
×

Reviews for Toward a More Perfect Union:

 Toward a More Perfect Union magazine reviews

The average rating for Toward a More Perfect Union: based on 2 reviews is 5 stars.has a rating of 5 stars

Review # 1 was written on 2012-12-26 00:00:00
1988was given a rating of 5 stars Salvatore Panebianco
Salah satu penulis yang mengusung heresy dalam Islam adalah Anouar Majid. Dalam buku yang diberi sub judul "Mengapa Penyimpangan Vital Artinya buat Islam dan Amerika, Majid menyejajarkan Islam dengan Amerika, seolah-olah dua agama atau bangsa yang sejajar posisinya dan saling bersaing. Alih-alih menyoroti keburukan Islam dan menyoroti keunggulan Amerika, atau sebaliknya, Majid memilih menyoroti kekuatan masing-masing dan mengurai permasalahan terkait sisi-sisi negatif keduanya, dan bagaimana cara mempertemukan dua hal yang sebenarnya berpotensi, dan sedikit terbukti, saling mendukung ini. Dengan bahasa yang sangat santun, sulit kiranya orang langsung marah dan menuduhnya merongrong Islam atau sebagainya, meskipun yang dia sarankan adalah "pemikiran bebas", sesuatu yang bisa dibilang negatif dalam tradisi Islam. Membaca bab "Pendahuluan" buku ini (dengan agak methentheng, hehehe... takut melewatkan yang penting :D), saya merasa menemukan sebuah gagasan yang sangat penting buat skripsi saya, sekaligus juga buat diri saya sendiri sebagai Muslim yang benar-benar ingin mencintai tradisi dan juga dunia, yang semoga bisa dinikmati anak saya dalam kondisi terbaiknya nanti. Nah, dampak nakalnya dari baca pendahuluan ini adalah: betapa ruginya Arab Saudi, sebuah kerajaan yang memaksimalkan sisi Wahhabi Islam yang cenderung menolak pemikiran bebas, dengan segala aturan ketatnya terkait perempuan, dan memaksimalkan sisi gelap Amerika, ultrakonsumerismenya, ultrakapitalisnya, tapi sejauh ini belum pernah saya lihat mempraktikkan demokrasinya. Ah, maaf, itu semua pikiran saya sendiri. Anouar Majid tidak menyinggul soal ini sama sekali, setidaknya sejauh ini. Berikut ini saya kasih catatan dari tiga bab saja, belum sempat nulis lengkapnya: Bab 1: Anouar Majid mulai memberi ilustrasi yang cukup luas tentang keadaan dunia pada saat ini. Banyak negara Amerika Latin mulai bangkit, begitu juga dengan Iran, dan kebangkitan itu didukung oleh rakyat kecil. Mereka semua mulai menyadari dampak negatif dari sistem yang dianjurkan Amerika. Di sisi lain, Amerika sendiri sudah tidak lagi kritis akan sikapnya sendiri yang seolah-olah seperti tidak ikhlas digantikan para raksasa ekonomi baru, dari Asia Timur misalnya. Sementara itu, maraknya aksi bunuh diri sebenarnya bukan hanya berhubungan dengan Islam. Aksi bunuh diri ini sebenarnya lebih dikarenakan frustasi atas kesejahteraan sosial. Di situ juga disebutkan bahwa sebenarnya, agama yang perkembangannya paling cepat adalah Kristen, bukan Islam! Amerika sendiri sudah di ambang kehancuran, dan jika dia seperti halnya Islam yang tidak mau melakukan kritik diri, maka bukan tidak mungkin kehancurannya segera datang. Sementara Majid secara pribadi kecewa dengan Muslim yang menganggap dirinya adalah kelompok yang paling benar, sehingga tidak bisa menerima lagi kebaruan. Seperti halnya profesor Mohammed Arkoun yang menganjurkan membuka diri Islam terhadap metode keilmuwan barat, Majid menyarankan agar kita menggunakan pemikiran bebas dan cara pandang barat untuk menelaah Islam dan dengan rendah hati mengakui adanya kelemahan-kelemahan yang ada dalam tubuh Islam. Bab 4: Anouar Majid menuliskan bagaimana Amerika mencoba menyuntikkan demokrasi ke dalam Iraq dan Afghanistan. Namun, cara mereka menyuntikkan demokrasi adalah dengan cara membiarkan masing-masing menggunakan Islam sebagai sebuah elemen pokok dalam demokrasi mereka itu. Dengan memberikan Islam sebuah dasar yang tak bisa diganggu gugat, atau artinya Islam adalah sebagai agama resmi di negara-negara tersebut, di situ akan terjadi ketidakakomodatifan sebab orang-orang yang beragama lain tidak akan terakomodir. Dengan menjadikan agama sebagai satu elemen penting di sebuah negara, agama lain akan tak terlibat. Demokrasi yang seperti ini justru berbeda dengan demokrasi di Amerika sendiri. Ketika didirikan, Amerika tidak memasukkan Tuhan sebagai elemen dasar dari Konstitusinya, sehingga dengan begitu orang yang beragama apapun bisa terlibat. Jadi, sebagaimana pun kuatnya pengaruh Protestan di kalangan Amerika, tetap saja mereka tidak bisa berlaku semena-mena terhadap orang Islam atau orang-orang yang beragama lain. Dan ketika demi agenda perekonomian mereka mencoba menyuntikkan demokrasi di Afghanistan dan Iraq dengan membiarkan Islam sebagai landasan dasar negara itu, itu sama artinya malah menyuntikkan fundamentalisme. Hal ini malah bertentangan dengan semangat Revolusi Amerika. Alih-alih menanamkan Revolusi, Amerika menyebar benih fundamentalisme yang akan mereka tuai di masa yang akan datang. Bab 6: Anouar Majid di dalam bab ini menggelar analisisnya atas para pemikir, ilmuwan, dan politisi yang dikenal sebagai heretik dalam sejarah Amerika dan Islam. Dalam sejarah Amerika, Majid menyatakan bahwa "Para pemikir bebas Amerika selalu menantang kekuatan kuasa dan kekayaan dalam sejarah dengan mengandalkan pada tradisi menyimpang dan profetik khas Amerika guna menyadarkan sebuah bangsa yang besar tentang potensi spiritualnya yang tak terbatas" (194). Majid mengisahkan bagaimana Emerson dan Thoreau begitu gigih mengingatkan bangsanya akan cita-cita mulia, anti kemapanan, dan keseteraan manusia. Dalam sebuah hidup yang sederhana dan bijak, seorang manusia sebenarnya tidak perlu memberbudak dirinya sendiri untuk bekerja, dan hidup bahkan akan seperti rekreasi. Pemikiran mereka yang di luar jalur atau tren sejarah ini sebenarnya merupakan hasil dari seorang yang tidak mengungkung dirinya dengan agama. Majid membahas juga tentang Gnostik Gospel, yang ditemukan di Mesir pada tahun 1945. Injil yang baru ini lebih mengajarkan manusia untuk memahami dirinya sendiri "melalui proses amalan-amalan asketik yang sangat tertata--seperti agama Budha--dan bergantung selalu kepada otak dan akal sehat; dengan begini, sumber penderitaan bisa diatasi dan Kerajaan Tuhan akan muncul di depan mata" (202). Hal tersebut berarti bahwasanya agama bisa dijalankan dengan amalan-amalan duniawi. Dia menunjukkan bahwa selanjutnya keyakinan Kristiani yang semacma ini akhirnya tidak populer dan yang populer adalah agama Kristen seperti kita ketahui sekarang, yang mendudukkan Yesus sebagai Tuhan. Selanjutnya Majid membahas bagaimana dalam Islam sebenarnya juga terdapat tradisi pemikir bebas, para pengguna akal untuk memahami dunia dan agama, tetapi ada kekuatan-kekuatan yang mencoba memberangus ini, seperti misalnya ajaran bahwa "siapa saja yang mencoba memahami agamanya melalui penggunaan akal akan terjerumus ke dalam kesesatan" (208). Padahal, penelusuran Sarah Stroumsa menunjukkan bahwa di antara para pemikir bebas itu tidak semuanya menjadi atheis sebagaimana dipahami di jaman modern ini. Mereka mungkin meragukan kenabian dan wahyu, tapi tidak menolak adanya kekuatan Tuhani. Ada tokoh-tokoh seperti Ibn Warraq yang sampai terpikirkan tentang anti-perbudakan. Kelak, juga ada tokoh Abu Bakr Razi yang meragukan Alquran dan kisah-kisah Nabi Muhammad, yang menurutnya adalah mitos. Dia menganjurkan penggunaan intelektualitas, akal sehat, untuk memahami dunia dan menganggap bahwa tidak diperlukan lagi "bantuan supernatural untuk membimbing manusia dalam kehidupan mereka di dunia" (211). Uniknya, dengan pandangan yang sangat keras seperti ini, Razi (865-925) bisa hidup wajar, sehingga Majid mengasumsikan bahwasanya kondisi sehidupan di masa itu sangat terbuka. Sayangnya, setelah itu, pemikiran bebas seolah diberangus di dalam negara Islam, dan usaha-usaha untuk membangkitkan lagi pemikiran Islam sedikit demi sediki pudar dan akhirnya mati, sebagian besar karena ortodoksi Sunni yang menurut Majid "tidak hanya memenggang kepala para zanadiqa (pemikir bebas), sebagaimana sesekali terjadi, tapi juga mencerabut sumber-sumber inovasi dalam sejarah Muslim" (213). Yang dimaksud di sini adalah para inkuisitor dinasti Abbasiyah. Pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-9 terdapat Ibn Hazm, yang mengusung filsafat "dhahiriyah", yang salah satu diktumnya adalah "Tak seorang pun boleh meniru orang lain, tetapi masing-masing harus mengerahkan segala kemampuan terbaiknya, melakukan upaya interpretasi (ijtihad)" (215). Kelak juga muncul Averroes, salah satu filsuf Aristotelian tercanggih dalam sejarah, yang juga menjembatani antara masa Aristotles dengan para pemikir Renaisanse Eropa. Namun, tetapi saja kegairahan pemikiran bebas Islam masih tetap tidak bisa dibangkitkan kembali. Majid di sini menafsirkan bahwa "modernitas, dalam pemahaman islam, tidak lebih dari sekedar menerima metode kritis yang benar dan memastikan bahwa sebuah masyarakat tidak suka menghukum perbedaan atau melarang plurasime intelektual. Menjadi modern tidak hanya berarti meniru-niru--karena itu sama saja dengan salah kaprah, sebagaimana lazim diketahui pada jaman sekarang--tetapi menggali kembali semangat berdialog dalam bentuk yang paling radikal" (222). Majid setuju dengan Bellinzoni yang menganggap bahwa agama adalah urusan seputar "berbuat adil dan bajik dan mencintai sikap welas asih dan halus budi" (225). Dengan itu, mungkin Majid akan mengatakan bahwa memeras otak untuk mencari solusi atas sesuatu yang kita anggap masalah tanpa harus memenjara diri dalam kaidah-kaidah yang harus sesuai agama, di sini adalah Islam, meskipun dengan memakai metodologi Barat, asalkan tujuannya adalah untuk "keadilan ... kebajikan ... welas asih ... kehalusan budi", adalah sesuatu yang penting untuk menciptakan kehidupan yang harmonis.
Review # 2 was written on 2020-03-31 00:00:00
1988was given a rating of 5 stars Patricia Noggle
I first must say that this is the first review I've done of a book by an author who openly questions things that are widely-held tenets of Muslims such as the divine origin of the Qur'an, its complete transmission to us today, the infallibility of the Messenger Muhammad صلى الله عليه و سلم , the necessity of obeying the shari'ah (doing the ritual prayers, avoiding the consumption of prohibited items such as wine, etc.) and the reality of the Day of Judgment. While I do believe in these statements and I hope that one day my actions catch up with them, I have felt for a long time the necessity of embracing those who don't subscribe to these items. The first benefit of embracing these people is that they often are producers in their societies, meaning driving them away impoverishes the nation. How many cities in the United States thrive because of concentrations of gays and lesbians? Did not Iran lose a lot when so many Iranians left the country after the 1979 revolution? And while there are many reasons people leave predominantly Muslim countries, there's no need to add repression to that list. Second, and more importantly, the energy we "orthodox" Muslims spend discussing the errors of their ways distracts us from improving ourselves. We can even get to the point where we think attacking the kāfir, zindīq and fāsiq is a substitute for good deeds. When I was in Egypt and would read in the paper of a mob attack on Christians, I often suspected that the very people who would rush to "defend" Islam by attacking Christians may never have done a rak`a. Or at least I could not imagine how someone with an iota of fear of Allah could participate in these activities. complete review available at


Click here to write your own review.


Login

  |  

Complaints

  |  

Blog

  |  

Games

  |  

Digital Media

  |  

Souls

  |  

Obituary

  |  

Contact Us

  |  

FAQ

CAN'T FIND WHAT YOU'RE LOOKING FOR? CLICK HERE!!!