Wonder Club world wonders pyramid logo
×

Reviews for The open society and its friends

 The open society and its friends magazine reviews

The average rating for The open society and its friends based on 2 reviews is 3 stars.has a rating of 3 stars

Review # 1 was written on 2016-09-27 00:00:00
0was given a rating of 3 stars Beverly Packer
A good historical account but not an introductory text.
Review # 2 was written on 2018-03-31 00:00:00
0was given a rating of 3 stars Trina Wilson
Kesadaran akan hak sekaligus kekaguman pada ilmu pengetahuan adalah dua ciri penanda pemikiran filsafat modern pada abad 16. Kesadaran akan hak dan kekaguman pada ilmu pengetahuan diikat oleh satu konsep utama filsafat modern yaitu rasio. Rasio menjadi fondasi fundamental bagi pernyataaan hak, dan dengan demikian kebebasan manusia, sekaligus juga menjadi fondasi fundamental pemikiran saintifik yang bercorak deterministik. Lewat gagasan kesadaran akan hak atau kebebasan dan gagasan saintifik atau determinasi via pengukuran, Shapiro memaparkan 'asas moral dalam politik'. Asas moral dalam politik merupakan suatu indikator untuk menilai apakah suatu rejim yang berkuasa memang layak berkuasa, punya legitimasi untuk memerintah. Bila indikator dipenuhi, maka rejim mendapat legitimasi--bila tidak, maka hal itu menjadi dasar justifikasi bagi publik atau rakyat untuk mengambilalih kekuasaan. Kalau begitu, mengapa pula politik perlu justifikasi legitimasi kekuasaannya? Shapiro memang tidak menjelaskan secara tegas hal ini--namun, saya berupaya membacanya dari perspektif filsafat modern itu sendiri. Kebutuhan penguasa dan tentunya juga yang-dikuasai untuk mempersoalkan legitimasi adalah hakikat kekuasaan itu sendiri yang kontingensi. Kontingensi kekuasaan adalah buah pemikiran filsuf politik modern Machiavelli, kekuasaan sebagai paduan harmonis antara virtue dan fortune di mana perpaduan keduanya bersifat kontingensi. Karena kekuasaan bersifat kontingensi, kebutuhan untuk melegitimasi kekuasaan pun secara inheren menjadi bagian dari pengoperasian kekuasaan. Sepanjang sejarah modern, Shapiro memerika lima 'instrumen' untuk menilai legitimasi rejim yang berkuasa, yaitu (1) utilitarianisme, (2) kerugian, (3) eksploitasi, (4) kontrak sosial dan (5) demokrasi. Utilitarianisme terdiri atas utilitiarianisme Bentham yang berkeyakinan pada pengukuran manfaat secara objektif lewat perbandingan interpersonal dengan menggunakan uang sebagai alat ukur utilitas dan utilitarian Pareto yang berkeyakinan pada pengukuran manfaat secara subjektif yang menolak perbandingan interpersonal a la Bentham dan menggunakan pasar sebagai alat ukur utilitas. Masih mengikuti jalur utilitarianisme, Mill memperbaharui pemikiran utilitarianisme dengan menawarkan prinsip kerugian sebagai asas moral dalam politik. Bila ditelisik kembali, pemikiran utilitarian Bentham dan Pareto menggunakan hak sebagai landasan bagi manfaat untuk kemudian mengukur manfaat itu--maka, nyatalah betapa gagasan hak dan sains bekerja dalam penentuan asas moral dalam politik. Persoalannya, utilitarianisme Bentham terkendala pada ketakmungkinan metodis, yakni kemustahilan melakukan perbandingan interpersonal, contohnya bila bagi A, donat sangat berharga, maka belum tentu pula bagi si B, donat sangat berharga pula. Kesulitan metodologis mengakibatkan kesulitan untuk pengukuran dan dengan demikian berakhir pada kesulitan untuk menilai suatu rejim punya legitimasi atau tidak. Pada utilitarianisme Pareto, penggunaan alat ukur utilitas dari uang menjadi pasar menyebabkan keberadaan negara menjadi dipertanyakan--sebab pasar dengan sendirinya sudah melakukan redistribusi manfaat. Mill mengajukan prinsip kerugian sebagai pendasaran moral dalam politik di mana negara mendapat kewenangan masuk mengintervensi tatanan sosial bila ada individu terancam atau dirugikan oleh tindakan individu lain. Persoalannya, bagaimana menghitung kerugian? atau dengan kata lain, Mill berhasil menguatkan posisi hak dalam legitimasi politik, namun gagal dalam merancang desain saintifik mengukur kerugian tersebut. Seperti Mill, gagasan eksploitasi--yang berakar pada pemikiran Marxisme--sebagai dasar legitimasi politik pun tak kuat dalam perancangan desain saintifik mengukur daya eksploitasi yang terjadi. Ada pun gagasan kontrak sosial yang menjadi dasar legitimasi politik punya kendala dalam terciptanya konsensus yang tumpang-tindih antara individu yang bersepakat untuk dan akan mendirikan suatu tatatan. Di sini, persoalan legitimasi politik tidak lagi semata-mata ditopang oleh rasio yang punya pendasaran metafisis monisme, melainkan sudah melangkah pada ruang pendasaran metafisis pluralism. Dari situasi demikian, formulasi masalaha kontrak sosial adalah bagaimana mungkin dari suatu kondisi yang niscaya ada perbedaan, plural, dapat diambil kesamaan atau persamaan atau konsensus? Secara deduktif, tentunya perbedaan hanya menghasilkan perbedaan. Demokrasi menjadi asas moral dalam politik karena demokrasi merupakan sistem di mana yang diperintah dapat melakukan koreksi langsung atau tidak langsung terhadap yang diperintah. Shapiro menilai demokrasi sebagai 'instrumen' yang tepat untuk menyatakan suatu rejim punya legitimasi memerintah. Anehnya--bagi saya, demokrasi Shapiro dalam konstruksi pertarungan dwikutub, yang tentunya berakar pada konteks demokrasi Amerika Serikat yang didominasi oleh pertempuran oposisional Republik dan Demokrat. Demokrasi pada Shapiro, menurut saya, berpotensi menjadi tirani mayoritas. Mengambil pandangan Yudi Latif dalam 'Negara Paripurna', demokrasi Shapiro merupakan demokrasi dari masyarakat yang homogen, bukan heterogen seperti Indonesia, yang lebih pas dengan demokrasi deliberatif, demokrasi yang ditopang tidak sekadar hanya oleh massa belaka, melainkan juga ditopang oleh daya rasionalitas serta daya berkonsensus bersemangat kerakyatan demi keadilan sosial.


Click here to write your own review.


Login

  |  

Complaints

  |  

Blog

  |  

Games

  |  

Digital Media

  |  

Souls

  |  

Obituary

  |  

Contact Us

  |  

FAQ

CAN'T FIND WHAT YOU'RE LOOKING FOR? CLICK HERE!!!